Bertahun-tahun, bila Tuan dan Puan lewat di Jalan By Pass dari Simpang Empat Lubuk Begalung, sekitar seribu meter di sebelah kiri arah ke Aie Pacah, maka ada sebuah papan plang besar. Di situ ada tulisan, “Di sini Insya Allah akan Dibangun Rumah Sakit Semen Padang.”Begitu lama plang itu terpampang dan tidak ada tanda-tanda rumah sakit itu akan berdiri. Maka bolehlah kita menyangka, dalam hati Tuan dan Puan telah berkata: Inilah Rumah Sakit Insya Allah.
Pada 18 Maret, lebih sebulan lalu, bagai hadiah HUT ke 103 berdirinya Semen Padang, RS Insya Allah itu, alhamdulilah telah menjadi Semen Padang Hospital (SPH). Pada hari itu diadakan soft launching, semacam peresmian pendahuluan menjelang nanti grand launching, peresmian yang sebenarnya pada 5 Juli akan datang.Bila Tuan dan Puan melangkah masuk, meski belum selesai secara menyeluruh, maka aroma rumah sakit terasa berubah ke aura hospitality atau kenyamanan.
Akankah SPH menjadi dambaan? Marilah Tuan dan Puan melengong sejenak ke 2006. Menurut Dr. Azwir Dahlan, Dirut Rumah Sakit Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi seperti dikutip Tempo Interaktif yang ditulis Febrianti (7/10/2006), waktu itu, rata-rata ada 1.500 pasien dari Sumatra Barat dan Riau yang berobat ke beberapa rumah sakit di Malaysia dan Singapura. Dari jumlah itu, 1.000 di antaranya dari Sumbar.
Mengutip hasil penelitian tugas akhir dari Dasril, mahasiswa Magister Manejemen Universitas Gajah Mada, Azwir Dahlan mengajak Tuan dan Puan melengkapi data berikut. Setiap bulan ada Rp7 milar uang yang dihabiskan pasien dari Sumbar untuk berobat di kedua negara tetangga itu. Rata-rata setiap pasien membelanjakan 7 juta rupiah. Mengapa hal itu bisa terjadi? Berduyun-duyunnya pasien wilayah ini ke negeri jiran itu?
“Para pasien banyak berobat ke Malaysia dan Singapura lebih karena sugesti, pelayanan dan pengobatan di sana lebih bagus ketimbang di Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, maupun Jakarta,” kata Azwir.
Padahal dari segi fasilitas rumah sakit di Padang dan Bukittinggi hampir sama dengan Malayasia dan Singapura? Ia mengakui, pelayanan di Malaysia dan Singapura memang lebih prima, para pasien langsung dijemput ke bandara, diantar ke rumah sakit dan diberikan jadwal pasti berobat yang membuat mereka lebih memilih berobat ke luar negeri di dua negeri jiran itu.
Azwir mengatakan, ada sejumlah persoalan yang membuat rumah-rumah sakit di Sumatra Barat sulit menyaingi pelayanan prima rumah sakit di negara tetangga itu. Di antaranya rendahnya gaji petugas medis, kurangnya petugas dan adanya aturan rumah sakit baik negeri maupun swasta tidak boleh melakukan promosi, karena fungsinya sebagai lembaga pelayanan publik dan bukan bisnis.
“Gaji dokter ahli di Singapura dan Malaysia Rp50 juta hingga Rp60 juta, sedangkan gaji dokter ahli kita hanya Rp2 juta hingga Rp2,5 juta, petugas medis juga tidak memadai misalnya di RS Ahmad Mochtar Bukittinggi (2006/penulis), ruang VIP berjumlah 16 ruangan hanya dilayani 3 perawat, padahal idealnya 8 hingga 10 orang,” katanya waktu itu.
Penyebab lain, rumah sakit juga tidak boleh berpromosi atau mengiklankan pelayanannya. Hal itu berbeda dengan rumah sakit di Singapura dan Malaysia yang gencar melakukan promosi dan iklan mirip badan-badan komersial swasta. Bahkan dengan agresif mereka membuka kantor perwakilan di Padang, Pekanbaru, Jakarta dan kota lainnya di Indonesia.
Tuan dan Puan, itulah tayangan panorama keadaan hal yang berkaitan dengan berhondoh-porohnya pasien 7 tahun lalu ke luar wilayah ini. Lalu, bagaimana data terakhir?
Rasanya, mungkin lebih banyak lagi pada akhir-akhir ini. Kalau begitu, bagaimana hati Tuan dan Puan sekarang? Apakah SPH yang bakal memiliki 160 tempat tidur rawat inap pasien dalam berbagai kelas ini dapat menjadi secuil harapan? Mari kita tunggu. (Shofwan Karim)